RAIHANPAHIMI

publish your book for free?AFF=9142

Sunday, 20 August 2017

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN ZULHIJJAH



KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN ZULHIJJAH

Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: 

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ… 

“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’”[1]
Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti solat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkurban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya.[2]

Dalam Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Terdapat Amalan Berikut Ini.
1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.
2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.”[3]
3. Takbir dan zikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]
4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah datuk kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan binatang sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.
5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan solat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.
6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, seperti solat, membaca al-Qur-an, sedekah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.”[4]

MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA’LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA’DUUDAAT)

Allah berfirman yang bermaksud:
 “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]

Dan Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:
 “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]
Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:

1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.
2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.
3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama zulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.
5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan zulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.
Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.
Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).”[5]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Zulhijjah.”[6]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah.”[7]
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir 9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas.
Wallahu a’laam.

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).