Memberi
kemaafan……..sejauhmana kemampuan kita ?
Jika kita di fitnah, ianya amat memilukan hati dan satu
pengalaman yang amat memalukan. Sebagai seorang yang beriman kita perlu banyk
bersabar dalam situasi sebegini kerana semua perkar yang berlaku kepada kita
adalaj ketentuan Allah. Mungkin kita sedang di uji keimanan dan ketaqwaan.
Subahannallah…
Salah satu sifat takwa adalah sifat pemaaf, iaitu memaafkan
orang lain, bukan meminta maaf. Firman-Nya: Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (iaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran/3: 133-134).
Jika dibandingkan antara memaafkan dengan meminta maaf,
tentu jauh lebih sukar memaafkan. Namun, tidak sedikit di antara kita yang
lebih menuntut orang lain meminta maaf, bahkan jika perlu minta maaf secara
terbuka kepada umum. Padahal meminta maaf merupakan sikap yang sangat wajar
dilakukan oleh orang yang telah melakukan kesalahan. Sementara memaafkan merupakan
sikap yang amat sukar dilakukan, terlebih kepada orang yang jelas melakukan
penganiayaan dan ada kesempatan untuk membalasnya melalui undang-undang atau
cara lainnya.
Dalam hukum Islam, dikenal istilah qishas, artinya mengambil
pembalasan yang sama. Namun al-Qur’an tetap menuntut kita untuk memaafkan
sehingga ampunan dan rahmat Allah senantiasa dilimpahkan (Qs. Al-Baqarah/2 :
178 dan Al-Ma’idah/5: 45). Dalam Q.S. Asy-Syura: 40 Allah juga berfirman:
“…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas
tanggungan Allah.”
Selain adanya peluang untuk membalas orang yang telah
melakukan kezhaliman, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis juga menjelaskan
bahwa salah satu di antara doa yang mudah dikabulkan oleh Allah adalah doa
orang yang dizalimi. Akan tetapi di hadis yang lain, Nabi malah menegaskan
bahwa salah satu akhlak yang paling terpuji adalah memaafkan orang yang telah
menzhalimi (wa ta’fu ‘ amman zhalamaka). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu
tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau
menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan
denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mahu memberimu dan maafkanlah
orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Dengan demikian, sikap memaafkan akan terasa sukar mengingat
adanya peluang diberikan dalam Islam untuk “membalas” perbuatan orang yang
bersalah. Akan tetapi, dengan kesukaran ini, balasan yang diberikan Allah
kepada orang yang mampu melakukannya tentu jauh lebih mulia dan berharga, salah
satu di antaranya adalah mengantarkan seseorang kepada derajat taqwa
sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Meskipun sikap memaafkan terasa sukar, tetapi tidak pula
mustahil dilakukan. Memaafkan sesama manusia justeru akan terasa mudah
dilakukan dengan kesedaran iman dan memahami hakikat manusia yang sesungguhnya.
Dengan iman yang benar, seseorang akan mengenal Allah dengan
sifat dan nama-nama-Nya yang indah lagi mulia. Salah satu di antara nama-Nya
dalam asma’ul husna adalah “al-‘Afuwwu”, artinya Maha Pemaaf. Sementara Nabi
menuntun kita untuk meneladani nama-nama Allah tersebut sesuai dengan batas
kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Jika Allah memaafkan para hamba-Nya yang
kerap melakukan kesalahan, maka manusia pun seyogyanya ikhlas memaafkan
sesamanya, meskipun ia tidak pernah menyatakan permintaan maaf.
Kemudian, sifat pemaaf juga akan terasa mudah dilakukan
dengan memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan
sekaligus kekurangan. Oleh karenanya manusia acap kali melakukan kesalahan.
Mengenai hal ini, Rasul menegaskan bahwa “Setiap manusia itu pernah melakukan
kesalahan, dan sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” Jadi
manusia yang baik bukanlah tidak pernah melakukan kesalahan, akan tetapi mereka
yang bersalah dan bersegera bertaubat atas kesalahan yang dilakukan.
Kerana setiap manusia bersalah, maka orang yang merasa
teraniaya pun sebenarnya peenah melakukan kesalahan. Dengan demikian, jika
orang lain melakukan kesalahan kepada kita maka hendaklah kita mengingat
kembali kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang lain. Lalu cuba rasakan
bagaimana seandainya kesalahan kita tersebut tidak dimaafkan oleh orang lain?
Jika direnungkan, dalam kehidupan ini banyak hal yang
menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat (causality), termasuk dalam interaksi
sosial, seperti: orang yang baik akan mendapat pujian; orang yang berbuat jahat
akan dibenci orang; orang yang mudah menghormati akan mudah pula dihormati
orang lain. Hanya saja, sebab-akibat tersebut tidak harus bersifat kontan
(cash), tetapi boleh berganti dengan yang lain. Dalam hal menolong, misalnya,
Nabi SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selagi
hamba itu mau menolong orang lain”. Hadis ini menunjukkan bahwa jika kita
menolong orang, Allah akan membalas dengan pertolongan Allah. Pertolongan Allah
itu boleh melalui berbagai hal, boleh jadi langsung dari orang yang pernah kita
tolong, tetapi boleh pula dari orang lain yang malah tidak kita kenal.
Demikian pula dalam hal memaafkan. Ketika kita sanggup
memaafkan orang lain dengan hati tulus, maka insya’ Allah kita akan memperoleh
maaf dari orang lain pula atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Agaknya
perlu kita merenungkan pernyataan ahli hikmah: “Ingatlah dua hal dan lupakan
pula dua hal. Pertama, ingatlah kebaikan orang lain kepadamu dan lupakanlah
kebaikanmu pada orang lain; kedua, ingatlah kesalahanmu kepada orang lain dan
lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu.”
Jika saja kita memaafkan sesama manusia, maka ketenangan
batin nescaya akan diperolehi. Sebab secara psikologi, orang yang tidak boleh
memaafkan akan mengidap penyakit benci bahkan dendam. Sementara rasa benci dan
dendam akan mengganggu kesihatan mental seseorang sehingga dapat menimbulkan
berbagai penyakit kejiwaan bahkan boleh berpengaruh pula terhadap kesihatan
fisikal. Secara sosial, orang yang sukar memaafkan akan memperhambat
terjalinnya persaudaraan yang erat menuju persatuan dan kesatuan masyarakat
yang kuat.
Dengan demikian, sifat memaafkan juga boleh mempererat
persaudaraan sehingga terwujud persatuan dan kekuatan umat. Hal ini pula yang
pernah dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dalam penaklukan kota Mekah
(Fathu Makkah). Di masa Nabi bersama para sahabat berbondong-bondong memasuki
kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus membersihkan Ka’bah dari
berhala-berhala, orang-orang kafir Quraisy malah ketakutan karena menganggap
Nabi datang membalas dendam. Namun, apa yang dilakukan oleh Nabi jauh dari
dugaan mereka. Nabi malah memaafkan mereka sehingga mengetuk hati sebagian di
antara mereka untuk memeluk ajaran Islam. Sejak peristiwa itu pula, Mekah
dikuasai oleh umat Islam sehingga terpeliharalah Ka’bah dari pemberhalaan kaum
Jahiliyah hingga masa ini.
Begitu besarnya manfaat sifat pemaaf, maka setiap muslim
yang menginginkan kemuliaan dengan derajat taqwa mesti membiasakan diri untuk
mudah memaafkan sesamanya. Baginya tidak ada kata “tiada maaf bagimu”. Ingatlah,
orang yang sukar memaafkan tidak akan memperoleh kemuliaan justru malah
ketidaktenangan karena diliputi rasa kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus
memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar dari rasa kesal dan sesal, dan
yang terpenting menjadi aset untuk meraih kedudukan taqwa.
Realiti kehidupan kita memang agak sukar untuk memberi
kemafahan, dan kebiasaannya bila kita berniat hendak memberi kemaaran akan ada
hasutan dari syaitan supaya menegakkan kebenaran dan keegoan diri kita. Walahal
itu semua adalah aspek yang akan menjauhkan diri kepada sifat taqwa. Oleh itu
kita perlu mendidik hati naluri kita bagi membuang sifat ego dan sentiasa
memberi kemafaan kepada orang lain. Jika ini dapat dilakukan kita dapat hidup dengan
ketenangan dan memperolehi kesihatan mental dan fizikal. Yang lebih peting kita
akan memperolehi paha yang telah dijanjikan oleh Allah kepada mereka yang
memberi kemaafran.
Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comments, I will reply soon.