Tips Bersabar Ketika Disakiti Suami
Matlamat berkahwin adalah untuk sehidup dan semati
dengan pasangan kita. Sungguhpun begitu tidak semua pasangan dapat mencapai
hasrat ini. Kadangkala berlaku perselisihan faham antara suami isteri disepanjang
mereka menempuh alam berumah tangga. “ sedangkan lidah lagikan tergigit, inikan
pula suami isteri” inilah diantara senikata lagu P.Ramle yang terjadi dalam reality
kehidupan berumahtangga.
Dalam pergaduhan rumah tangga ini, seringkali si
isteri menjdi masa suami yang panas baran. Kekadang suami mendera isteri tidak
sepadan dengan kesilapan yang dilakukan, lebih-lebih lagi yang tidak
disengajakan. Untuk itu isteri perlu bersabar sehingga sumi yang panas baran itu kembali
normal dan lazimnya dia akan menyesal dengan tindak kasar terhadap isteri.
Untuk itu isteri perlu bersabar bagi menghadapi
suasana sebegini. Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu seorang hamba
untuk dapat melaksanakan kesabaran jenis kedua (yaitu bersabar ketika disakiti
orang lain, ed). Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, hendaknya dia mengakui bahwa Allah ta’ala adalah
Zat yang menciptakan segala perbuatan hamba, baik itu gerakan, diam dan
keinginannya. Maka segala sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti
akan terjadi. Dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah untuk terjadi,
maka pasti tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada satupun benda meski seberat dzarrah
(semut kecil,) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin dan kehendak
Allah. Oleh kerananya, hamba adalah ‘alat’. Lihatlah kepada Zat yang
menjadikan pihak suami menzalimimu dan
janganlah anda melihat tindakannya terhadapmu. (Apabila anda melakukan hal
itu), maka anda akan terbebas dari segala kedukacitaan dan kegelisahan.
Kedua, hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah
diperbuatnya dan mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan suami menzalimi (dirinya), maka itu semua dikeranakan
dosa-dosa yang telah dia perbuat sebelum
ini sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa
kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura: 30).
Apabila seorang hamba mengakui bahwa
segala musibah yang menimpanya dikeranakan dosa-dosanya yang telah lalu, maka
dirinya akan sibuk untuk bertaubat dan memohon keampunan kepada Allah atas
dosa-dosanya yang menjadi sebab Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk
melakukan hal itu dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai
pihak yang telah menzaliminya.
(Oleh kerana itu), apabila anda
melihat seorang yang mencela manusia yang telah menyakitinya dan justru tidak
meperbiki diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar kepada Allah,
maka ketahuilah (pada situasi demikian) musibah yang dia alami justru adalah
musibah yang hakiki. (Sebaliknya) apabila dirinya bertaubat, beristighfar dan
mengucapkan, “Musibah ini dikeranakan dosa-dosaku yang telahku lakukan
sebelum ini.” Maka (pada situasi demikian, musibah yang dirasakannya) justru
berubah menjadi kenikmatan dan memberi keinsafan diri.
Ali bin Abi Thalib radliallahu
‘anhu pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,
لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ
رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ
“Hendaknya seorang hamba hanya
berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut terhadap akibat yang akan
diterima dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya.”[1]
Dan terdapat sebuah ungkapan yang
diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ
وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan
diangkat dengan sebab taubat.”
Ketiga, hendaknya seorang isteri mengetahui pahala yang disediakan
oleh Allah ta’ala bagi orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap
tindakan suami yang menyakitinya). Hal
ini dinyatakan dalam firman-Nya,
وَجَزَاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang zalim.” (QS. Asy Syuura: 40).
Ditinjau dari segi penunaian
balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu [1] golongan yang
zalim kerana melakukan pembalasan yang melampaui batas, [2] golongan
yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan [3] golongan yang
muhsin (berbuat baik) kerana memaafkan pihak yang menzalimi dan justru
meniggalkan haknya untuk membalas. Allah ta’ala menyebutkan ketiga
golongan ini dalam ayat di atas, bahagian pertama bagi mereka yang moderat, bahagian
kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bahagian akhir
diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan
(yang melampaui batas).
(Hendaknya dia juga) mengetahui
panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,
أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ
عَلَى اللَّهِ
“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri
orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”[2]
(Ketika panggilan
ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang berdiri melainkan mereka yang
(sewaktu di dunia termasuk golongan) yang (senantiasa) memaafkan dan bersabar
(terhadap gangguan orang lain kepada dirinya).
Apabila hal ini diiringi
dengan pengetahuan bahwa segala pahala tersebut akan hilang jika dirinya
menuntut dan melakukan balas dendam, maka tentulah isteri akan mudah untuk
bersabar dan memaafkan (pihak suami telah menzaliminya).
Keempat, hendaknya isteri mengetahui bahwa apabila dia memaafkan
dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai
kedengkian dan kebencian kepada suaminya) serta hatinya akan terbebas dari
keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada suami yang
menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan
menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat ganda, baik manfaat itu
dirasakan sekarang atau diakhirat nanti,
Manfaat di atas tentu tidak
sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang dirasakannya ketika melakukan
pembalasan. Oleh kerananya, (dengan perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup
dalam firman Allah ta’ala,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Dengan
melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi yang dicintai
Allah. Situasi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun
dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar. (Dengan demikian), dia akan
merasa sangat gembira atas kurnia Allah yang diberikan kepadanya melebihi
kegembiraan yang pernah dirasakannya.
Kelima, hendaknya dia mengetahui bahwa
seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka
hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya. Apabila dia
memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya. Keutamaan
ini telah diberitakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
sabdanya,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا
(Berdasarkan hadis
di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu (tentu) lebih
disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh
dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan
dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin.
(Sedangkan) sikap memaafkan (terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin,
namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Keenam, -dan hal ini merupakan salah satu
faktor yang paling bermanfaat-, yaitu hendaknya dia mengetahui bahwa setiap
balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari)
bahwa dirinya adalah seorang yang zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia
mengetahui bahwa setiap orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap
dirinya, maka Allah pun akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan
ampun setiap manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan
mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang
dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang akan
mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah) memaafkan dan
berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya. Manfaat ini tentu sangat
mencukupi seorang yang berakal (agar tidak melampiaskan dendamnya).
Ketujuh, hendaknya dia mengetahui bahwa
apabila dirinya disibukkan dengan urusan pelampiasan dendam, maka waktunya akan
terbuang sia-sia dan hatinya pun akan terpecah (tidak dapat berkonsentrasi
untuk urusan yang lain). Berbagai manfaat justru akan luput dari genggamannya.
Dan kemungkinan hal ini lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh
berbagai pihak yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan jasadnya
akan merasa “fresh” untuk mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih
penting bagi dirinya daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.
Kedelapan, sesungguhnya pelampiasan dendam yang
dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri yang dilandasi oleh keinginan
melampiaskan hawa nafsu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi,
padahal menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah ta’ala dan
menyakiti beliau termasuk di antara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan
ganti rugi.
Jiwa beliau adalah jiwa yang
termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling jauh dari berbagai akhlak yang
tercela dan paling berhak terhadap berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun
demikian, beliau tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan
pribadi (jiwanya) (terhadap suami yang telah menyakitinya).
Maka bagaimana bisa salah seorang
diantara kita melakukan pembalasan dan pembelaan untuk diri sendiri, padahal
dia tahu situasi jiwanya sendiri serta keburukan dan aib yang terdapat di
dalamnya? Bahkan, seorang yang arif tentu (menyadari bahwa) jiwanya
tidaklah pantas untuk menuntut balas (kerana aib dan keburukan yang
dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar
kedudukan yang berarti sehingga patut untuk dibela.
Kesembilan, apabila isteri disakiti oleh suami
atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah (ibadah-pent), atau dia
disakiti kerana melakukan ketaatan yang diperintahkan atau kerana dia
meninggalkan kemaksiatan yang terlarang, maka (pada situasi demikian), dia
wajib bersabar dan tidak boleh melakukan pembalasan. Hal ini dikeranakan
dirinya telah disakiti (ketika melakukan ketaatan) di jalan Allah, sehingga
balasannya menjadi tanggungan Allah.
Oleh kerananya, ketika para mujahid
yang berjihad di jalan Allah kehilangan nyawa dan harta, mereka tidak
memperoleh ganti rugi kerana Allah telah membeli nyawa dan harta mereka.
Dengan demikian, ganti rugi menjadi
tanggungan Allah, bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi
kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti
rugi dari Allah. Sesungguhnya, seorang yang mengalami kerugian (kerana
disakiti) ketika beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan
gantinya.
Apabila dia tersakiti akibat musibah
yang menimpanya, maka hendaknya dia menyibukkan diri dengan mencela dirinya
sendiri. Kerana dengan demikian, dirinya tersibukkan (untuk meperbaiki diri dan
itu lebih baik daripada) dia mencela suami yang telah menyakitinya.
Apabila dia tersakiti kerana harta,
maka hendaknya dia berusaha menyabarkan jiwanya, kerana mendapatkan harta tanpa
disertai dengan kesabaran merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran
itu sendiri.
Setiap orang yang tidak mampu
bersabar terhadap panas terik di siang hari, ditimpa hujan dan salju serta
rintangan perjalanan dan gangguan perampok, maka tentu dia tidak usah
berdagang.
Realita ini diketahui oleh manusia,
bahwa setiap orang yang memang jujur (dan bersungguh-sungguh) dalam mencari
sesuatu, maka dia akan dianugerahi kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar
kejujuran (dan kesungguhan) yang dimilikinya.
Kesepuluh, hendaknya dia mengetahui kebersamaan,
kecintaan Allah dan ridha-Nya kepada dirinya apabila dia bersabar. Apabila
Allah membersamai seorang, maka segala bentuk gangguan dan bahaya -yang tidak
satupun makhluk yang mampu menolaknya- akan tertolak darinya. Allah ta’ala
berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang
bersabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Kesebelas, hendaknya dia mengetahui bahwa
kesabaran merupakan sebagian daripada iman. Oleh kerana itu, sebaiknya dia
tidak mengganti sebagian iman tersebut dengan pelampiasan dendam. Apabila dia
bersabar, maka dia telah memelihara dan menjaga keimanannya dari aib
(kekurangan). Dan Allah-lah yang akan membela orang-orang yang beriman.
Kedua belas, hendaknya dia mengetahui bahwa
kesabaran yang dia laksanakan merupakan hukuman dan pengekangan terhadap hawa
nafsunya. Maka tatkala hawa nafsu terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu
memperbudak dan menawan dirinya serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai
kebinasaan.
Tatkala dirinya tunduk dan mendengar
hawa nafsu serta terkalahkan olehnya, maka hawa nafsu akan senantiasa
mengiringinya hingga nafsu tersebut membinasakannya kecuali dia memperoleh
rahmat dari Rabb-nya.
Kesabaran mengandung pengekangan
terhadap hawa nafsu berikut setan yang (menyusup masuk di dalam diri). Oleh kerananya,
(ketika kesabaran dijalankan), maka kerajaan hati akan menang dan bala
tentaranya akan kuat dan menguat sehingga segenap musuh akan terusir.
Ketiga belas, hendaknya dia mengetahui bahwa
tatkala dia bersabar , maka tentu Allah-lah yang menjadi penolongnya. Maka
Allah adalah penolong bagi setiap orang yang bersabar dan memasrahkan setiap
pihak yang menzaliminya kepada Allah.
Barangsiapa yang membela hawa
nafsunya (dengan melakukan pembalasan), maka Allah akan menyerahkan dirinya
kepada hawa nafsunya sendiri sehingga dia pun menjadi penolongnya.
Jika demikian, apakah akan sama
keadaan antara seorang yang ditolong Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang
yang ditolong oleh hawa nafsunya yang merupakan penolong yang paling lemah?
Keempat belas, kesabaran yang dilakukan oleh
seorang akan melahirkan penghentian kezaliman dan penyesalan pada diri musuh
serta akan menimbulkan celaan manusia kepada pihak yang menzalimi. Dengan
demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak yang zalim akan kembali dalam
keadaan malu terhadap pihak yang telah dizaliminya. Demikian pula dia akan menyesali
perbuatannya, bahkan bolah jadi pihak yang zalim akan berubah menjadi sahabat
karib bagi pihak yang dizalimi. Inilah makna firman Allah ta’ala,
ô
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ
كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang
baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar.” (QS. Fushshilaat: 34-35).
Kelima belas, terkadang pembalasan dendam malah
menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang musuh terhadap dirinya. Hal ini
juga justru akan memperkuat dorongan hawa nafsu serta menyibukkan fikiran untuk
memikirkan berbagai bentuk pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini
sering terjadi.
Apabila dirinya bersabar dan
memaafkan pihak yang menzaliminya, maka dia akan terhindar dari berbagai bentuk
keburukan di atas. Seorang yang berakal, tentu tidak akan memilih perkara yang
lebih berbahaya.
Betapa banyak pembalasan dendam
justru menimbulkan berbagai keburukan yang sulit untuk dibendung oleh pelakunya.
Dan betapa banyak jiwa, harta dan kemuliaan yang dapat diselamatkn ketika pihak
yang dizalimi menempuh jalan memaafkan.
Keenam belas, sesungguhnya seorang yang terbiasa
membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan terjerumus ke dalam kezaliman. Kerana
hawa nafsu tidak akan mampu melakukan pembalasan dendam dengan adil, baik
ditinjau dari segi pengetahuan (maksudnya hawa nafsu tidak memiliki parameter
yang pasti yang akan menunjukkan kepada dirinya bahwa pembalasan dendam yang
dilakukannya telah sesuai dengan kezaliman yang menimpanya.) dan kehendak
(maksudnya ditinjau dari segi kehendak, hawa nafsu tentu akan melakukan
pembalasan yang lebih, pada kebiasaanya).
Terkadang, hawa nafsu tidak mampu
membatasi diri dalam melakukan pembalasan dendam sesuai dengan kadar yang
dibenarkan, kerana kemarahan (ketika melakukan pembalasan dendam) akan
berjalan bersama pemiliknya menuju batas yang tidak dapat ditentukan (melampaui
batas). Sehingga dengan demikian, posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang
dizalimi, yang menunggu pertolongan dan kemuliaan, justru berubah menjadi pihak
yang zalim, yang akan menerima kehancuran dan siksaan.
Ketujuh belas, kezaliman yang diderita akan
menjadi sebab yang akan menghapuskan berbagai dosa atau mengangkat derajatnya.
Oleh kerana itu, apabila dia membalas dendam dan tidak bersabar, maka kezaliman
tersebut tidak akan menghapuskan dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.
Kedelapan belas, kesabaran dan pemaafan yang
dilakukannya merupakan pasukan terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi
sang musuh.
Sesungguhnya setiap orang yang
bersabar dan memaafkan pihak yang telah menzaliminya, maka sikapnya tersebut
akan melahirkan kehinaan pada diri sang musuh dan menimbulkan ketakutan
terhadap dirinya dan manusia. Hal ini dikeranakan manusia tidak akan tinggal
diam terhadap kezaliman yang dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang
dizalimi mendiamkannya. Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh
keutamaan itu akan terluput darinya.
Oleh kerana itu, anda dapat
menjumpai sebagian manusia, apabila dia menghina atau menyakiti pihak lain, dia
akan menuntut penghalalan dari pihak yang telah dizaliminya. Apabila pihak yang
dizalimi mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan beban yang dahulu
dirasakan akan hilang.
Kesembilan belas, apabila pihak yang dizalimi
memaafkan sang musuh, maka hati sang musuh akan tersadar bahwa kedudukan pihak
yang dizalimi berada di atasnya dan dirinya telah menuai keuntungan dari
kezaliman yang telah dilakukannya. Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa
memandang bahwa kedudukan dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah
dizaliminya. Maka tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan dari sikap
memaafkan.
Kedua puluh, apabila seorang memaafkan, maka
sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang akan melahirkan berbagai
kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan senantiasa bertambah.
Sesungguhnya balasan bagi setiap
kebaikan adalah kontinuitas kebaikan (kebaikan yang berlanjut), sebagaimana
balasan bagi setiap keburukan adalah kontinuitas keburukan (keburukan yang
terus berlanjut). Dan terkadang hal ini menjadi sebab keselamatan dan
kesuksesan abadi. Apabila dirinya melakukan pembalasan dendam, seluruh hal itu
justru akan terluput darinya.
الحمد
لله الذي بنعمته تتم الصالحات[4]
Sumber:
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati
beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan
Muslim
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comments, I will reply soon.