Islam
meletakkan kedudukan seorang ibu sangan tinggi, kerana ibu merupakan insan yang
melahirkan zuriat dan ibulah yang akan mendidik anak-anak mereka untuk menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa. Yang akan menjadi genarsai pemimpin pelapis
bagi menggatikan pemimpin lama yang telah tua dan tidak berupaya lagi.
Dalam
hadis sahih Al Bukhari, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah
s.a.w. yang bermaksud “siapakah yang perlu kita hormati dan kasihi selepas Allah dan Nabi , baginda menjawab “ibu
kamu”.” selepas itu”, “Ibu kamu”. “selepas itu”. “ Ibu Kamu”. Selepas itu ‘
Ayah Kamu”.
Lihatlah
betapa tingginya kedudukan ibu dalam Islam.
Sepanjang
sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan
membentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul dan
bertamadun, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, dan
berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peranan seorang ibu. Ibulah orang
yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan
nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan
dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain,
peranan ibu sebagai pencerah peradaban dan pusat pembentukan nilai, tak seorang
pun menyangkalnya.
Islam memberikan perhatian khusus kedudukan seorang ibu dalam pergaulan masyarakat. Dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Jahimah datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berperang dan minta pendapatmu.” Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu masih punya ibu? Jawabnya, “Masih ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Uruslah ibumu, sesungguhnya surga terletak di bawah telapak kakinya.”
Rasulullah SAW menjadikan bakti kepada ibu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah SWT. Jihad oleh Jahimah itu adalah jihad ofensif dengan peserta tertentu. Adapun jihad defensif menjadi kewajiban setiap muslim, karena ia membela keselamatan ibu.
Suatu ketika ada seorang sahabat datang menemui Rasulullah SAW menanyakan siapakah yang paling berhak mendapatkan bakti dari anak. “Ya Rasulullah siapakah yang paling berhak menerima baktiku?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Ibumu.” Siapa lagi? “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun banyak ayat Al-Qur’an berpesan agar berbakti kepada kedua orang tua, namun ada tekanan lebih khusus kepada ibu, karena perjuangan dan pengorbanannya. Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbakti) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14).
Dalam ayat yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (QS. Al-Ahqaf : 15).
Saudaraku,
Begitu besarnya jasa kedua orang tua, terutama ibu, sehingga apapun yang kita
lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas
jasa keduanya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar melihat seseorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan. Orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah, “Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu”.
Orang tua kita telah mengurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu-lah yang menyusui dan membersihkan kotoran. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya.
Islam memberikan perhatian khusus kedudukan seorang ibu dalam pergaulan masyarakat. Dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Jahimah datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berperang dan minta pendapatmu.” Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu masih punya ibu? Jawabnya, “Masih ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Uruslah ibumu, sesungguhnya surga terletak di bawah telapak kakinya.”
Rasulullah SAW menjadikan bakti kepada ibu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah SWT. Jihad oleh Jahimah itu adalah jihad ofensif dengan peserta tertentu. Adapun jihad defensif menjadi kewajiban setiap muslim, karena ia membela keselamatan ibu.
Suatu ketika ada seorang sahabat datang menemui Rasulullah SAW menanyakan siapakah yang paling berhak mendapatkan bakti dari anak. “Ya Rasulullah siapakah yang paling berhak menerima baktiku?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Ibumu.” Siapa lagi? “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun banyak ayat Al-Qur’an berpesan agar berbakti kepada kedua orang tua, namun ada tekanan lebih khusus kepada ibu, karena perjuangan dan pengorbanannya. Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbakti) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14).
Dalam ayat yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (QS. Al-Ahqaf : 15).
Saudaraku,
Begitu besarnya jasa kedua orang tua, terutama ibu, sehingga apapun yang kita
lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas
jasa keduanya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar melihat seseorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan. Orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah, “Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu”.
Orang tua kita telah mengurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu-lah yang menyusui dan membersihkan kotoran. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya.
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comments, I will reply soon.