RAIHANPAHIMI

publish your book for free?AFF=9142

Wednesday, 13 May 2015

RUMAH TANGGA YANG IDEAL

Rumah Tangga yang Ideal

Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman jiwa), mawaddah (rasa cinta), dan rohmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan redha dari Allah Ta’ala.
Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keredaan Allah dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, oleh kerana keadaan manusia yang tidak boleh lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak kurang juga  pasangan yang mulanya hidup tenang, tenteram, dan bahagia mendadak dilanda kemelut perselisihan dan pergolakan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada usaha untuk ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan isteri adalah lebih dahulu saling mahasabah diri, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangga mereka. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada pendamai dari pihak keluarga suami maupun isteri untuk mendamaikan antara keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami isteri tersebut.
Apabila sudah diusahakan untuk berdamai sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34–35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Syaikh Musthofa al-Adawi berkata: “Apabila masalah antara suami isteri semakin panas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.
Apabila suami marah sementara isteri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu, dan solat dua roka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaklah yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Allah semata.” 
Di tempat lain beliau berkata: “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terlantar (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Alloh berfirman:
Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Alloh. (QS. al-Baqoroh [2]: 102)
Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Jabir bin Abdulloh, ia berkata: Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata: ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab: ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’” Nabi melanjutkan: “Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata: ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’” Beliau melanjutkan: “Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata: ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.’” ( HR. Muslim [no.2813 (67) )
Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai syaitan.
Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak isteri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah (syari’at dan hukum-hukum-Nya) di antara keduanya. Yaitu isteri tidak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak isterinya, serta batas-batas Alloh menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti yang Allah firmankan:
Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (QS. an-Nisa’ [4]: 130) .
Allah Ta’ala berfirman:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang sholih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya)tidak ada, karena Alloh telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (3) , hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. an-Nisa’ [4]: 34–35)
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum talak (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.
Adapun hadis yang mengatakan bahwa “perkara halal yang dibenci oleh Allah adalah talak (cerai)” yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018), dan al-Hakim (2/196) adalah hadis lemah. Hadis ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam al-‘Ilal, dilemahkan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa ul Gholil (no. 2040).
Meskipun talak (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan talak, ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, isterinya, dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Allah pada hari kiamat.
Kemudian bagi isteri, bagaimanapun kemarahannya kepada suami, hendaklah ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada isteri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau kerana suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya.
Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si isteri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya bau surga, berdasarkan sabda Nabi :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya bau surga.” 
 Abu Huroiroh berkata:
نَهَى رَسُوْلِ اللهِ n: وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِيْ إِنَائِهَا .
“Rosulullah melarang: ‘… dan janganlah seorang isetri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudari (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.’” .
Dalam agama Islam dibolehkan poligami (menikahi lebih dari satu isteri) dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zalim kepada wanita, melainkan disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Alloh Yang Mahaadil, Mahabijaksana, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mengharapkan lahirnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah, dan rohmah. Oleh karena itu, setiap suami dan isteri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i. Kepada suami isteri, hendaklah selalu melaksanakan kewajiban yang Allah amanahkan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Allah agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang sholih dan sholihah.
Wallhu’alam.

Sumber : Ustaz Abdul Ahmar

No comments:

Post a Comment

Thanks for your comments, I will reply soon.