Rumah
Tangga yang Ideal
Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah
tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman jiwa), mawaddah (rasa cinta), dan
rohmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman:
Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi kaum yang berpikir. (QS.
ar-Rum [30]: 21)
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus
saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban,
memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan
penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan redha dari Allah
Ta’ala.
Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga
yang mendapat keredaan Allah dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, oleh kerana
keadaan manusia yang tidak boleh lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara
ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak kurang juga pasangan yang mulanya hidup tenang, tenteram,
dan bahagia mendadak dilanda kemelut perselisihan dan pergolakan.
Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada
usaha untuk ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami
dan isteri adalah lebih dahulu saling mahasabah diri, menyadari kesalahan
masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan
hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian
dalam rumah tangga mereka. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada pendamai
dari pihak keluarga suami maupun isteri untuk mendamaikan antara keduanya.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami isteri tersebut.
Apabila sudah diusahakan untuk berdamai sebagaimana yang
disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34–35, tetapi masih juga gagal,
maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Syaikh Musthofa al-Adawi berkata: “Apabila masalah antara suami
isteri semakin panas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya,
berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dan meredam perselisihan
antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan
jangan menceritakannya kepada orang lain.
Apabila suami marah sementara isteri ikut emosi, hendaklah
keduanya berlindung kepada Allah, berwudhu, dan solat dua roka’at. Apabila
keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk,
hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium,
merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang
berbuat salah, hendaklah yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah
Allah semata.”
Di tempat lain beliau berkata: “Sedangkan berdamai adalah lebih
baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi
keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada
mereka terlantar (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai.
Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Alloh berfirman:
Alloh berfirman:
Maka mereka mempelajari dari
keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami)
dengan isterinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya
kecuali dengan izin Alloh. (QS. al-Baqoroh [2]: 102)
Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Jabir bin Abdulloh, ia
berkata: Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan.
Kemudian ia mengirimkan bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya
dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia.
Seorang dari mereka datang dan berkata: ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis
menjawab: ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’” Nabi melanjutkan: “Lalu datanglah
seorang dari mereka dan berkata: ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku
berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’” Beliau melanjutkan: “Lalu iblis
mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata: ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang
telah engkau lakukan.’” ( HR. Muslim [no.2813 (67) )
Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang
dicintai syaitan.
Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami istri,
hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak
suami dan satu lagi dari pihak isteri untuk mengadakan perdamaian antara
keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila
permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan
dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah (syari’at dan
hukum-hukum-Nya) di antara keduanya. Yaitu isteri tidak lagi mampu menunaikan
hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak isterinya,
serta batas-batas Alloh menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya
tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Allah, maka ketika itu urusannya seperti
yang Allah firmankan:
Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi
Mahabijaksana. (QS. an-Nisa’ [4]: 130) .
Allah Ta’ala berfirman:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang sholih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya)tidak ada, karena Alloh telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (3) ,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka
menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi
persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga
laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru
damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada
suami isteri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. an-Nisa’
[4]: 34–35)
Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam,
dan ini merupakan hak suami. Hukum talak (cerai) dalam syari’at Islam adalah
dibolehkan.
Adapun hadis yang mengatakan bahwa “perkara halal yang dibenci
oleh Allah adalah talak (cerai)” yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018), dan al-Hakim (2/196) adalah hadis lemah.
Hadis ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam al-‘Ilal, dilemahkan pula oleh
Syaikh al-Albani dalam Irwa ul Gholil (no. 2040).
Meskipun talak (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, tetapi
seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami
akan menjatuhkan talak, ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan
mafsadat (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai
membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, isterinya,
dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Allah pada hari kiamat.
Kemudian bagi isteri, bagaimanapun kemarahannya kepada suami,
hendaklah ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada
suaminya. Terkadang ada isteri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau kerana
suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya.
Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si isteri masih
terus menuntut cerai, maka haram atasnya bau surga, berdasarkan sabda Nabi :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada
alasan yang benar, maka haram atasnya bau surga.”
Abu Huroiroh berkata:
نَهَى رَسُوْلِ اللهِ n: … وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِيْ إِنَائِهَا ….
نَهَى رَسُوْلِ اللهِ n: … وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِيْ إِنَائِهَا ….
“Rosulullah melarang: ‘… dan janganlah seorang isetri meminta
(suaminya) untuk menceraikan saudari (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.’” .
Dalam agama Islam dibolehkan poligami (menikahi lebih dari satu
isteri) dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zalim
kepada wanita, melainkan disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan
menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Alloh Yang
Mahaadil, Mahabijaksana, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya.
Setiap keluarga selalu mengharapkan lahirnya rumah tangga yang
bahagia, diliputi sakinah, mawaddah, dan rohmah. Oleh karena itu, setiap suami
dan isteri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam
dan bergaul dengan cara yang baik.
Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya
tanpa alasan syar’i. Kepada suami isteri, hendaklah selalu melaksanakan
kewajiban yang Allah amanahkan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan
selalu berdo’a kepada Allah agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang sholih
dan sholihah.
Wallhu’alam.
Sumber : Ustaz Abdul Ahmar
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comments, I will reply soon.