Panduan Menikmati
Sek Secara Islam
Islam sebagai addin, satu agama yang lengkap sebagai panduan
kehidupan umat manusia di muka bumi ini telah menetapkan garis panduan bagi
manusia menikmati kehidupan yang diredai oleh Allah sebagaiman yang telah
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Sek sebagai salah satu fitrah kehidupan manusai. Islam tidak
pernah melarang hasrat sek, oleh itu Islam telah menetpkan garis panduan
bagaimana pasangan suami isteri harus melakukan hubungan sek mereka. Jika
dilakukan mengikut garispanduan yang ditetakan itu, maka hubungan intim itu
akan dianggap sebagai salah satu ibadah.
Bagi mepastikan umatnya mendapat kenikmatan sek yang
sebaiknya mengikut keingin nafsu manusia, juga disarnkan supaya pernikahan yang
menghalalkan hubungan sek diantara lelaki dan wanita juga ada disrankan pada
masa-masa tertentu yang dianggap masa yang terbaik.
Masa pernikahan yang diaggap paling baik oleh Islam ialah
pada bulan Syawal sebagai mana pendapat pera ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina
Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi SAW pada bulan
Syawwal. Sebagaimana diriwayatkan:
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawal itu penuh
keberkatan dan mengandung banyak kebaikan.”
Namun, untuk menikati kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tidak memadai dengan dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak
perkara yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami isteri
agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah),
baik lahir maupun batin. Salah satunya –dan yang paling penting– adalah
persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.
Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Kerana jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat jasmani seseorang insan dan menyambung keturunan bani Adam melalui keturunan yang baik, bukannya melalui perzinaan.
Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang
berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat
lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli isteri
kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan
yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan
yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah)
Kerana bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap
hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami,
yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga
hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar
usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, kerana air
sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
.
Wajahnya Muram:
.
Wajahnya Muram:
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak
bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya
akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang
yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi
dingin dan wajahnya muram.”
Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan jasmani pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Sungguhpun tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang boleh dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan isteri.
Mengapa wajib? Kerana faragh bersama merupakan salah satu
unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan
rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berpanjngan,
dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni
perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la
dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang
membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah
kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak
dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik
seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti
berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik
secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.
Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.
Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas
yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak
demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”,
atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi
mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Kerana dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’
juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya
seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni
ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadis diatas tentu sekali dalam makna yang
sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium
bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadis tersebut sekaligus mendudukan
ciuman antar suami isteri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya
kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa
saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari
(nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
.
Bau Mulut
.
Bau Mulut
Kerana itu, pasangan suami isteri hendaknya sangat
memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fasa ciuman. Baik dengan
menguasai teknik dan cara berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan
organ tubuh yang akan dipakai semasa berciuman. Kerana boleh jadi, bukannya
menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan
semangat dan hasrat sek pasangan.
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan
yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’.
Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang
tentu saja haram diucapkan kepada selain isterinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan
adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami isteri, seluruh bahagian tubuh
adalah objek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika
dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah
Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan bagi suami isteri untuk melihat dan meraba
seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Kerana kemaluan merupakan
bahagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat
dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bahagian tubuh manusia
memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka,
untuk menambah kualiti jima’, suami isteri diperbolehkan pula menanggalkan
seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama
Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optima, sepatutnya
suami isteri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai
antara pasangan suami isteri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar
menghasilkan efek yang maksima saat berjima’.
Diperbolehkan bagi pasangan suami isteri yang tengah
berjima’ untuk mendesah. Kerana desahan adalah bahagian dari meningkatkan
gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli isterinya.
Tiba-tiba sang isteri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun
tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi isterinya ia justru berkata,
“Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim
suami isteri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai jenis posisi
dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah,
semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang
lainnya.
Allah SWT berfirman,
“Isteri-isterimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah
ia dari arah manapun yang kamu kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
.
Posisi Ijba’:
Posisi Ijba’:
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan
kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan
kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, kerana suami-suami mereka ingin
melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji
perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu
pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang
berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu
turunlah ayat tersebut.
Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi
menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari
depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi
melalui dubur tidak diperbolehkan, kerana itu bukan lokasi bercocok tanam.”
Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,
lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam
membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi
kehidupan dikupas sejelasnya serta diberi tuntunan yang terperinci, agar
umatnya boleh tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.
Sumber :
Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar
Baasyir)
http://darry.wordpress.com/2008/10/07/kamasutra-sex-islam/
http://darry.wordpress.com/2008/10/07/kamasutra-sex-islam/
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comments, I will reply soon.